Anak Buah Sri Mulyani Beberkan Dampak Ketegangan Cina-Taiwan ke RI
Konflik terbuka Cina-Taiwan bisa berdampak ke perdagangan.
Jakarta, FORTUNE - Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu mengatakan pemerintah terus memantau perkembangan geopolitik kawasan seiring memanasnya hubungan Tongkok dan Taiwan.
Sebab, meski sejauh ini dampaknya belum terlihat signifikan, ketegangan kedua negara tersebut bisa mempengaruhi sektor perdagangan dan investasi Indonesia jika berujung pada konflik tersebuka seperti Rusia dan Ukraina.
"Tentu kalau dari sisi perekonomiannya kami pantau ini sebagai risiko yang sifatnya eksogen. Artinya ini adalah di luar kontrol dari perekonomian Indonesia. Sehingga dampaknya diperkirakan akan bersifat spillover," ujarnya dalam taklimat media, Senin (8/8).
Menurut Febrio, berbagai negara termasuk Indonesia sudah harus menyiapkan kebijakan mengantisipasi kemungkinan terburuk dari konflik tersebut. Dalam hal ini, Indonesia juga sendiri telah mengedepankan diplomasi ekonomi. Tujuannya untuk membuka mata negara-negara yang tengah berkonflik bahwa kondisi itu telah menyebabkan negara miskin makim tertekan.
"Ini bahkan di dalam G20 kita sudah menyuarakan bagaimana banyak negara-negara miskin ini sudah masuk ke dalam krisis pangan dan nutrisi. Sehingga kita mulai suarakan suara-suara kemanusiaan," kata dia.
Selain itu, ia juga memastikan bahwa pemerintah akan menjaga terus menjaga ketahanan ekonomi internal, diantaranya dengan melakukan diversifikasi aktivitas ekspor dan investasi. Sebab, dia mengagakan, saat ekonomi Cina pada kuartal II 2022 yang hanya tumbun 0,4 persen telah memberi dampak ke ekonomi domestik.
"Konteks dampaknya terhadap Indonesia memang sejauh ini kita lihat cukup terbatas. Tapi tentu ini harus kita waspadai ke depan," ungkapnya.
Waspada proteksionisme meningkat
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan ketegangan geopolitik global membuat berbagai negara mulai menerapkan kebijakan proteksionisme. Kondisi ini terjadi sejak perang antara Rusia dan Ukraina meletus pada awal 2022 dan terus meningkat seiring memanasnya hubungan Taiwan dan China.
"Banyak dunia mulai sekarang, masyarakat atau negara, melakukan review terhadap hubungan antar negara. Kondisi geopolitik, yang penuh dengan kompetisi dan juga potensi perang, menimbulkan semua negara untuk semakin inward looking dan mencari hal-hal yang bisa meningkatkan ketahanan dari perekonomiannnya masing-masing," ujarnya saat bicara dalam PKKMB Universitas Indonesia, Senin (8/8).
Indonesia, yang masuk dalam daftar 20 negara dengan perekonomian tersebesar, perlu menyadari tantangan ini. Sebab, kondisi geopolitik yang penuh dengan kompetisi dan juga potensi perang telah membuat berbagai negara kembali fokus pada peningkatan keamanan dan perekonomiannya mamsing-masing.
Hal ini akan mengganggu pemulihan ekonomi global dan turut memperparah tekanan yang telah dihadapi berbagai negara akibat inflasi harga komoditas dan pengetatan suku bunga negara-negara maju.
"Sebuah proyeksi yang dilakukan Bloomberg mengenai betapa probabilitas semua negara akan menghadapi guncangan ini akan masuk ada apa yang disebut krisis atau resesi. Di berbagai negara khsuusnya Amerika Serikat sudha mengalami secara teknikal resesi karena dua kali per kuartal perekonomiannya negatif," jelas Sri Mulayani.
Bahkan RRT sendiri, yang kini terlibat didalam konfilk, tengah mengalami tekanan di mana perekonomiannya mengalami pertumbuhan sangat rendah pada kuartal kedua. "Sehingga ini menimbulkan suatu komplikasi," pungkasnya.