Aturan Baru PLTS Atap Kini Berlaku, Listriknya Bisa Dijual 100% ke PLN
Pemilik PLTS Atap bisa ikut perdagangan karbon.
Jakarta, FORTUNE - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya menerapkan aturan baru terkait penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Setelah sempat ditunda beberapa bulan, ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 itu kini dapat diimplementasikan.
"Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap ini dapat dilaksanakan dan telah didukung oleh seluruh stakeholder sesuai hasil rapat koordinasi yang dipimpin oleh Bapak Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada 18 Januari 2022", ujar Direktur Jenderal EBTKE, Dadan Kusdiana dalam keterangan resminya, dikutip Fortune Indonesia, Senin (24/1).
Pada rapat dimaksud, kata Dadan, telah disepakati beberapa hal yang menjadi perhatian dalam implementasi Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021. Terutama persoalan yang berdampak nasional di antaranya potensi kenaikan Biaya Pokok Pembangkitan (BPP), subsidi dan kompensasi, potensi kehilangan penjualan PT PLN serta potensi pendapatan dari capacity charge.
Kemudian ada pula dampak terhadap APBN yang berkaitan dengan potensi peningkatan subsidi dan kompensasi ketika pemintaan listrik meningkat. "Semakin besar permintaan listrik maka dampak terhadap subsidi dan kompensasi semakin kecil. Hal ini menjadi penting agar program pemerintah berkenaan creating demand listrik untuk dapat dipercepat," tuturnya.
Dadan menjelaskan, beleid tentang PLTS Atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum tersebut merupakan upaya pemerintah dalam mencapai target energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada tahun 2025.
Selain itu, ketentuan baru ini diterbitkan untuk memperbaiki tata kelola dan keekonomian PLTS Atap serta merespons dinamika yang ada dan memfasilitasi keinginan masyarakat untuk mendapatkan listrik dari sumber energi terbarukan dan berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca.
Substansi Aturan
Sebagai informasi, Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 memuat sejumlah ketentuan pokok yang menjadi insentif bagi pemilik PLTS Atap. Pertama, ketentuan ekspor kWh listrik yang ditingkatkan dari semula 65 persen menjadi 100 persen. Hal ini memungkinkan kapasitas listrik pemilik PLTS Atap yang tak terpakai dijual ke PLN.
Kedua, adanya aturan tentang perpanjangan kelebihan akumulasi selisih tagihan yang dinihilkan, yakni dari 3 bulan menjadi 6 bulan.
Ketiga, jangka waktu permohonan PLTS Atap yang menjadi lebih singkat (5 hari tanpa penyesuaian Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dan 12 hari dengan adanya penyesuaian PJBL).
Ketentuan pokok lainnya adalah mekanisme pelayanan berbasis aplikasi untuk kemudahan penyampaian permohonan, pelaporan, dan pengawasan program PLTS Atap. Kemudian, dibukanya peluang perdagangan karbon dari PLTS Atap.
Lalu, tersedianya Pusat Pengaduan PLTS Atap untuk menerima pengaduan dari pelanggan PLTS Atap atau Pemegang IUPTLU. Terakhir, perluasan pengaturan tidak hanya untuk pelanggan PLN saja tetapi juga termasuk pelanggan di Wilayah Usaha non-PLN (Pemegang IUPTLU).
Meski demikian, proses pelayanan sistem PLTS Atap selama masa transisi masih dilakukan secara manual, belum berbasis aplikasi.
Dampak Penerapan PLTS Atap
Seperti diketahui, dalam mencapai target bauran EBT 23 persen pada 2025, pemerintah akan mendorong penggunaan PLTS Atap hingga kapasitias mencapai 3,6 GW. Menurut studi Kementerian ESDM, jumlah penambahan daya dari PLTS Atap tersebut akan memiliki berbagai dampak positif, antara lain, potensi penyerapan 121.500 orang tenaga kerja dan potensi peningkatan investasi sebesar Rp45 triliun sampai Rp63,7 triliun untuk pembangunan fisik PLTS serta Rp2,04 Triliun hingga Rp4,1 triliun untuk pengadaan kWh Exim.
Manfaat lainnya adalah terdorongnya pertumbuhan industri pendukung PLTS di dalam negeri dan meningkatkan daya saing dengan semakin tingginya Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Selain itu, pencapaian target pengguna PLTS Atap juga mendorong green product sektor jasa dan green industry untuk menghindari penerapan carbon border tax di tingkat global.
Kemudian, dapat menurunkan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 4,58 juta ton CO2e dan berpotensi mendapatkan penerimaan dari penjualan Nilai Ekonomi Karbon sebesar Rp0,06 triliun/tahun (asumsi harga karbon US$2/ton CO2e).