Badan Penerimaan Pajak: Urung Dibentuk Jokowi, Kini Dijanjikan Gibran
Urgensi Badan Penerimaan Pajak dinilai tak mendesak.
Jakarta, FORTUNE - Wacana pemisahan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kembali mencuat usai debat calon wakil presiden (Cawapres) pada Jumat (22/12). Dalam kesempatan tersebut, Cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka mengatakan bahwa DJP perlu menjadi lembaga otonom di luar Kementerian Keuangan.
Tak hanya itu, ia juga menyampaikan perlunya menggabung otoritas pajak dengan bea cukai dalam lembaga tersebut. "Sehingga fokus dalam penerimaan negara saja, tidak akan mengurusi lagi masalah pengeluaran," ujarnya dalam debat yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan.
Menurut Gibran, lembaga tersebut nantinya tak perlu lagi bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan lantaran memiliki garis komando langsung ke Presiden. "Kita akan membentuk badan penerimaan pajak yang dikomandoi langsung oleh presiden sehingga akan mempermudah koordinasi dengan kementerian terkait," tuturnya.
Jika ditilik ke belakang, wacana untuk memisahkan DJP dari Kemenkeu sebetulnya bukan barang baru. Bahkan pemisahan ini pernah dijanjika Presiden Joko Widodo dalam kampanyenya pada Pilpres 2014 dan 2019.
Karena itu, dalam rapat RUU APBN 2020 di Gedung DPR, pada 22 Agustus 2019, Anggota fraksi Partai Gerindra di DPR RI, Bambang Haryo, kembali mengingatkan Presiden Jokowi atau Jokowi soal janji tersebut. “Paling urgent adalah benahi sistem perpajakan saat ini, termasuk di dalamnya merealisasikan pemisahan Ditjen Pajak dari Kemenkeu,” kata Bambang saat itu.
Tagih janji tersebut wajar belaka sebab upaya untuk memisahkan DJP dengan Kemenkeu telah berkali-kali dibahas oleh pemerintah dan DPR.
Pada akhir 2014, misalnya, pemerintah telah menyiapkan Perpres untuk memisahkan DJP dari Kemenkeu dengan membentuk instansi baru bernama Badan Penerimaan Khusus. Namun, penerbitan Perpres tersebut ditunda lantaran Jokowi berkeinginan untuk memperkuat DJP dengan penambahan anggaran, pemberian remunerasi, hingga penambahan pegawai.
Kemudian, upaya lain dilakukan lewat penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam naskah akademik yang diterbitkan pada 2016—diketuai oleh eks Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito—disebutkan bahwa pemisahan kelembagaan perlu dilakukan untuk memperbaiki kinerja pengelolaan DJP yang belum optimal, efisien, dan efektif.
Meski demikian, pemisahan tersebut perlu didasari oleh rencana kerja (road map) perubahan kelembagaan serta pembentukan tim persiapan transformasi kelembagaan menjadi semi-autonomous body yang terpisah dari Kementerian Keuangan.
"Sejalan dengan hal tersebut, secara bertahap disusun peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas perpajakan Indonesia untuk menyelenggarakan pengelolaan sumber daya manusia, anggaran, organisasi, serta kewenangan untuk pembentukan peraturan," demikian naskah akademik tersebut.
Wewenang lebih luas tersebut dimaksudkan agar dalam posisinya berada di bawah Kementerian Keuangan seperti saat ini, Direktorat Jenderal Pajak dapat lebih fleksibel dalam melaksanakan kegiatan yang menunjang pencapaian kinerja yang lebih baik.
Meski begitu, pemberian kewenangan secara delegatif sebagaimana tersebut di atas, disertai dengan penguatan atas fungsi-fungsi DJP, termasuk fungsi administrasi, pelayanan, pengawasan, serta penegakan hukum.
"Sampai pada suatu saat di mana Direktorat Jenderal Pajak diberikan kewenangan atributif berdasarkan suatu undang-undang untuk menyelenggarakan tata kelola organisasinya dan berubah menjadi badan penerimaan perpajakan yang bersifat semi-autonomous body yang terpisah dari Kementerian Keuangan," lanjut naskah akademik.
Secara garis besar, reformasi tersebut juga didasari sejumlah evaluasi terhadap pelaksanaan tata kelola DJP. Di antaranya Tax Ruling, pengelolaan organisasi, keuangan, dan manajemen sumber daya manusia.
Dalam aspek Tax Ruling, Direktorat Jenderal Pajak memiliki keterbatasan dalam pembuatan aturan perpajakan, dan proses birokrasi yang panjang dapat menyebabkan keterlambatan penerbitan ketentuan perpajakan. Kewenangan yang lebih besar dalam bidang Tax Ruling diharapkan dapat mempercepat respons terhadap kebutuhan cepat dan dinamis dalam dunia usaha.
Dalam aspek organisasi, keterbatasan kewenangan membuat DJP kesulitan merespons perubahan sosial ekonomi dan potensi penerimaan pajak. Kemudian, dalam aspek keuangan, keterbatasan kewenangan dalam penyusunan dan alokasi anggaran menyebabkan beberapa program tidak dapat dijalankan secara optimal, dan kesulitan dalam realokasi anggaran untuk merespons perubahan ekonomi dan bisnis.
Selain keterbatasan nasional tersebut, DJP juga menghadapi koordinasi internal dengan Kementerian Keuangan, melibatkan unit seperti Biro Sumber Daya Manusia, DJP, dan Pusat Informasi dan Teknologi.
Dus, untuk meningkatkan kinerja, DJP perlu memiliki kemampuan manajemen sumber daya manusia yang mendukung inisiatif administrasi perpajakan. Sementara terkait rekrutmen pegawai, diharapkan adanya efisiensi dan efektivitas dalam mengelola tahapan rekrutmen serta mendukung fleksibilitas dalam manajemen kinerja dan karir pegawai.
Meski demikian, dalam naskah akademik dimaksud, terdapat faktor positif dan negatif yang dapat dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan transformasi kelembagaan DJP, seperti tergambar dalam tabel berikut:
Sudah tak relevan
Dalam RUU KUP sendiri, upaya memisahkan DJP dari Kemenkeu tersebut tertuang dalam Pasal 95 yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang perpajakan dilaksanakan oleh lembaga sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian, disebutkan pula bahwa lembaga dimaksud berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pun begitu, pembahasan RUU KUP tersebut tak kunjung tuntas hingga RUU KUP dengan draf baru pada Mei 2021 dibahas. Pada draf anyar tersebut, tak terdapat pasal terkait posisi DJP sebagai lembaga semi otonom. Hingga akhirnya, pada Oktober 2021, RUU tersebut disahkan sebagai UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), dan upaya pemisahan DJP dari Kemenkeu kandas.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Taufik Ahmad, menuturkan bahwa pembentukan badan penerimaan tersebut sudah tidak relevan mengingat sejumlah reformasi yang telah berjalan di DJP saat ini.
"Misalnya, dalam hal SDM untuk mendukung manajemen dalam inisiatif administrasi perpajakan. Sebab, dengan bantuan teknologi, masalah administrasi pajak untuk mendorong peningkatan rasio pajak bisa segera terselesaikan.
"Basis pajak kita pada waktu itu rendah sehingga kalau orang di lapangan banyak otomatis diharapkan ada peningkatan basis pajak maupun kepatuhan dan sebagainya, nah hipotesa itu dibangun," ujarnya kepada Fortune Indonesia.
Kini dengan integrasi NPWP dan NIK serta pertukaran data informasi perbankan dengan DJP dalam menyusun profil wajib pajak, urgensi pembentukan badan penerimaan tersebut tak terlalu besar. "Jadi tidak terlalu diperlukan kalau hanya untuk meningkatkan pendapatan karena sudah menggunakan teknologi yang jauh lebih cepat dan tepat, dan tidak perlu lagi ada kantor pajak banyak-banyak," imbuhnya.
Menurut Tauhid, tantangan kelembagaan DJP di bawah Kemenkeu saat ini adalah fleksibilitas dalam menghadapi dinamika perpajakan yang terus berkembang. Karena itu, diperlukan wewenang yang lebih besar dalam memperluas basis pajak dan mengintensifkan penarikan pajak dari sektor-sektor yang selama ini belum dioptimalkan.
"Misalnya berkaitan dengan sektor informal yang terus berkembang . Kemudian, penurunan wajib pajak yang dari negara lain. Jadi memang perlu ada intensifikasi dan ekstensifikasi wajib pajak tersebut. Selanjutnya, berkaitan dengan mencari wajib pajak yang naik kelas tidak terdeteksi dengan baik," tuturnya.
Sementara itu, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyebut pendirian badan penerimaan negara belum mampu mengatasi persoalan fundamental terkait penyerapan pajak.
“Tentang penerimaan negara yang banyak disinggung oleh calon wakil presiden (cawapres) Gibran dengan cara mendirikan badan penerimaan negara itu satu langkah yang keliru jika ingin menaikkan penerimaan pajak dan bea cukai tapi tidak diberesi masalah utama dari pajak ini,” kata Huda seperti dikutip Antara.
Menurutnya, persoalan utama terkait pajak adalah aktivitas korupsi di DJP. Akibatnya penerimaan pajak yang dominan adalah pajak yang sudah tersistem, sementara pajak Orang Pribadi (OP) masih sangat rendah.
Huda juga mengkritik wacana badan penerimaan negara yang dikomandai langsung oleh presiden lantaran dapat berpotensi menimbulkan kekuatan yang sangat kuat dari sisi internal badan tersebut.
“Sekarang di bawah Kementerian Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) saja masih bisa ‘bermain’, apalagi nanti jadi badan sendiri?” ujar dia.