Bagaimana Pemerintah dan Swasta Mengukur Kualitas Udara di Indonesia
Pengukuran kualitas udara via sensor butuh kalibrasi.
Jakarta, FORTUNE - Polusi udara Jakarta jadi tajuk yang ramai diperbincangkan di media sosial dalam beberapa waktu belakangan.
Pasalnya, kualitas udara Jakarta disebut-sebut sebagai salah satu yang terburuk di dunia berdasarkan data situs pemantau kualitas udara IQAir.
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) bahkan sampai membuat media briefing khusus untuk merespons isu tersebut.
Dalam paparannya, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Reliantoro, menolak framing bahwa udara Jakarta merupakan yang terburuk di dunia.
Sebab, situs pemantau kualitas udara lainnya seperti aqicn.org menunjukkan masih banyak kota yang lebih buruk kualitas udaranya ketimbang Jakarta. Dia juga menyebut pentingnya kredibilitas alat pemantau udara. Sebab, data KLHK menunjukkan bahwa tren kualitas udara Jakarta dalam beberapa waktu belakangan bukan yang terburuk.
Lantas bagaimana KLHK melakukan pemantauan udara di Jakarta?
Dikutip dari situs resmi KLHK, polusi di Jakarta diukur menggunakan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Ini merupakan angka tanpa satuan yang digunakan untuk menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu dan didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya.
Khusus untuk daerah rawan terdampak kebakaran hutan dan lahan, informasi ini dapat digunakan sebagai early warning system atau sistem peringatan dini bagi masyarakat sekitar.
Tujuan disusunnya ISPU, menurut KLHK, adalah untuk memberikan kemudahan dari keseragaman informasi mutu udara ambien kepada masyarakat di lokasi dan waktu tertentu serta sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan upaya-upaya pengendalian pencemaran udara baik bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Pada 2020, KLHK telah mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 14 tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemar Udara yang merupakan pengganti dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 45 tahun 1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara.
Pada peraturan pengganti ini, tercantum bahwa perhitungan ISPU dilakukan pada 7 (tujuh) parameter yakni PM10, PM2.5, NO2, SO2, CO, O3, dan HC. Terdapat penambahan 2 (dua) parameter yakni HC dan PM2.5 dari peraturan sebelumnya. Penambahan parameter tersebut didasari pada besarnya resiko HC dan PM2.5 terhadap kesehatan manusia.
Selain penambahan parameter, terdapat peningkatan frekuensi penyampaian informasi ISPU kepada publik. Hasil perhitungan ISPU parameter PM2.5 disampaikan kepada publik tiap jam selama 24 jam. Sedangkan hasil perhitungan ISPU parameter PM10, NO2, SO2, CO, O3, dan HC disampaikan kepada publik paling sedikit dua kali sehari pada pukul 09.00 dan 15.00.
"Data kami dari 2018-2023. Ini adalah ISPU. Kalau dilihat 2018-2023 kondisi Jakarta lebih banyak antara baik dan sedangnya," ujarnya sembari menunjukkan grafik kualitas udara Jakarta melalui ISPU dalam media briefing bertajuk Kualitas Udara di Jabodetabek, Senin (14/8).
Tak hanya oleh KLHK, ISPU digunakan pula oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai standar kualitas udara yang dilaporkan secara berkala pada situs resmi Dinas Lingkungan Hidup.
Di Pemprov DKI, ISPU dipantau menggunakan lima Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) berupa 5 fixed station atau stasiun permanen (masing-masing di Bundaran HI, Kelapa Gading, Jagakarsa, Lubang Buaya, dan Kebon Sirih) serta tiga mobile station yang digunakan pada Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB).
Dalam studi bertajuk Evaluation of Ambient Air Quality Monitoring System in Jakarta: A Literatur Review (2020) oleh Michelle Gunawan, Riri Asyahira dan Filson M Sidjaba, mengatakan sistem pemantauan kualitas udara Jakarta sudah memenuhi standar—meski masih dapat ditingkatkan. Standar dimaksud merujuk pada Ambient Air Quality Standard (NAAQS) yang ditetapkan di Amerika Serikat.
Beda alat pemantau
Muhammad Shiddiq, Air Quality Lead WRI—organisasi penelitian independen yang fokus pada isu Hutan dan Tata Guna Lahan, Iklim, Energi, Kota dan Transportasi, dan Lautan—mengatakan alat pemantau kualitas udara dengan NAAQS dapat dibedakan menjadi dua: reference grade monitor dan sensor based monitor (low cost sensor).
Reference grade monitor biasanya dikelola oleh pemerintah, industri dan para peneliti dalam rangka mengejar kepatuhan, monitoring, penegakan aturan, hingga penelitian. Alat itulah yang digunakan KLHK dan Dinas Lingkungan Hidup Jakarta.
Sementara sensor based biasanya digunakan oleh individu, komunitas serta perusahaan swasta. Di Indonesia, alat jenis ini digunakan Nafas, aplikasi pemantau kualitas udara untuk membantu masyarakat mengurangi paparan terhadap kualitas udara yang berbahaya.
Namun, pengukuran dengan sensor berbiaya rendah tersebut sering kali memiliki kualitas data yang lebih rendah dan lebih dipertanyakan dibanding hasil dari stasiun pemantauan resmi pemerintah.
Di samping itu, masih ada ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan tentang bagaimana kinerjanya dibandingkan dengan pemantau milik regulasi, dan bagaimana kinerjanya dapat dipengaruhi oleh faktor meteorologi.
Meski demikian, laporan bertajuk A Nairobi Experiment in Using Low-cost Air Quality Monitors (2017) yang dipublikasikan Clean Air Journal menyebut bahwa data yang dihasilkan sensor tersebut masih memiliki kesenjangan dan kemungkinan kurang akurat.
"Kami menyimpulkan bahwa sensor ini jelas merupakan pelengkap yang kemungkinan akan penting, tetapi bukan pengganti sistem pemantauan kualitas udara berkualitas tinggi dan andal karena masalah kalibrasi, sertifikasi, kontrol kualitas, dan pelaporan masih harus diselesaikan," tulis laporan tersebut.
Co-founder Nafas, Piotr Jakubowski, dalam sebuah utas di Twitter, sempat menjelaskan bagaimana perusahaannya berupaya menjaga validitas data dari sensor monitor yang mereka miliki. Hal ini dia sampaikan untuk menjawab keraguan publik terhadap daya kualitas udara pada aplikasi Nafas.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah membandingkan data dari sensor miliknya sumber lain seperti AQAir.com , situs resmi KLHK, dan Breezometer.
Selain itu, mereka juga menjalankan kolokasi atau ditempatkan berdekatan dengan reference grade monitor.
Dengan kolokasi, Nafas membandingkan data sensor kualitas udara dengan reference monitor dan melakukan kalibrasi dengan Pearson Coefficient of Correlation untuk mengukur korelasinya (-1 artinya berkorelasi negatif; 0 tidak berkorelasi; dan +1 korelasinya tinggi).
"Selama bulan April [2023], korelasinya 0.951. Artinya - hampir sama datanya," demikian ia menulis.
Kalibrasi memang sangat dibutuhkan untuk memastikan data yang dihasilkan sensor tersebut relevan dan cukup akurat. Dalam studi bertajuk From a Low-Cost Air Quality Sensor Network to Decision Support Services: Steps towards Data Calibration and Service Development, (2021) dijelaskan bahwa kalibrasi penting untuk meningkatkan korelasi antara data sensor dengan reference monitor.
"Kami menunjukkan bahwa mentransfer model kalibrasi antara sensor-sensor memungkinkan tetapi evaluasi dari prosedur semacam ini memerlukan sensor referensi sebagai target. Salah satu cara adalah dengan menempatkan semua sensor bersama referensi, mengumpulkan data, mengkalibrasinya, dan kemudian mendeploy ke lokasi akhir mereka, namun solusi yang lebih otomatis akan mempermudah dan mempercepat proses deployment," demikian kesimpulan publikasi tersebut.
Yang menarik, sensor based monitor tersebut pemeliharaan, kalibrasi, dan analisis data adalah tugas-tugas yang membutuhkan sumber daya yang signifikan dan dapat berkontribusi terhadap biaya total pengoperasiannya. Artinya, bisa jadi sensor based monitor tersebut punya biaya yang sama mahalnya dengan reference grade monitor.