Debat Capres: Prabowo Cecar Isu Polusi Jakarta ke Anies, Ini Faktanya
KLHK sebut polusi DKI tak hanya bersumber dari dalam kota.
Jakarta, FORTUNE - Isu polusi DKI Jakarta muncul dalam debat calon presiden (capres) putaran pertama yang mengusung tema hukum, hak asasi manusia (HAM), pemerintahan, pemberantasan korupsi, dan penguatan demokrasi. Persoalan tersebut ditanyakan capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, kepada capres nomor urut 1, Anies Baswedan.
Awalnya, Prabowo menyinggung soal besarnya ABPD DKI Jakarta (sekitar Rp80 triliun) dibandingkan dengan Jawa Barat (sebesar Rp60 triliun). Dengan anggaran lebih besar dan jumlah populasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan Jawa Barat, Prabowo memandang Anies belum cukup mampu mengatasi persoalan polusi Jakarta dalam lima tahun dia menjabat.
Anies lantas menjawab pertanyaan tersebut dengan menjelaskan bahwa sumber Polusi Udara bukan hanya berasal dari dalam kota, melainkan juga luar kota. Ini disebabkan embusan angin yang turut membawa polusi yang dihasilkan oleh aktivitas industri di luar Jakarta ke dalam Jakarta. Salah satunya, berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.
"Di Jakarta kami memasang alat pemantau polusi udara. Bila masalah polusi udara itu bersumber dari dalam kota Jakarta maka hari ini, besok, minggu depan akan konsisten akan terus kotor. Tapi apa yang terjadi? Ada hari di mana kita bersih, ada hari di mana kita kotor. Ada masa Minggu pagi Jagakarsa sangat kotor. Apa yang terjadi? Polusi udara tak punya KTP, angin tak ada KTP-nya," kata Anies menjawab Prabowo.
"Ketika polutan yang muncul dari pembangkit listrik tenaga uap mengalir ke Jakarta maka Jakarta punya indikator, karena itu Jakarta mengatakan ada polusi udara. Ketika anginnya bergerak ke arah Lampung, ke arah Sumatra, ke arah Laut Jawa, di sana tidak alat monitor maka tidak muncul, dan Jakarta pada saat itu bersih," ujarnya.
Prabowo lantas merespons dengan nada tidak puas. Menurutnya, Anies tidak seharusnya menyalahkan angin. Sebab, dengan anggaran besar, Anies harusnya dapat mengurangi polusi lebih signifikan.
"Dengan anggaran begitu besar, langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk dengan real dalam 5 tahun mengurangi polusi juga, di mana rakyat Jakarta itu banyak yang mengalami sakit pernapasan," ujar Prabowo.
Sumber emisi Jakarta
Persoalan polusi udara di Jakarta memang sempat menjadi sorotan masyarakat luas. Hal tersebut bahkan membuat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyelenggarakan media briefing kepada wartawan dengan tajuk "Kualitas Udara di Wilayah Jabodetabek" pada 13 Agustus lalu.
Dalam kesempatan tersebut, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Reliantoro, mengatakan bahwa berdasarkan kajian Dinas Lingkungan Hidup DKI dan VItal Strategis (2020), polusi di Jakarta terdiri dari tujuh jenis emisi, yakni karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), materi partikulat (PM10 dan PM2.5), sulfur dioksida (SO2), karbon hitam (BC), dan senyawa organik volatil non-metana (NMVOC).
CO merupakan gas tidak berwarna dan beracun yang berasal dari pembakaran bahan bakar, kendaraan, dan industri. Sementara NOx, termasuk nitrogen monoksida dan dioksida, timbul dari pembakaran pada suhu tinggi oleh kendaraan dan industri.
Kemudian, Partikel PM10 dan PM2.5, merupakan polusi yang muncul dari berbagai sumber seperti industri dan pembakaran--dan dapat menyebabkan dampak kesehatan serius.
Selanjutnya, SO2 dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil dan memiliki efek berbahaya terhadap saluran pernapasan manusia sedangkan karbon hitam (BC) bersumber dari kebakaran hutan dan kendaraan yang dapat menyerap cahaya dan mempercepat pemanasan global.
Terakhir, senyawa organik volatil non-metana (NMVOC) dari industri dan kendaraan dapat menyebabkan pembentukan ozon troposferik dan polusi udara lainnya.
Dari hasil inventarisasi tersebut, diperoleh data bahwa total emisi SO2 atau sulfur dioksida di Jakarta mencapai 4.257 ton per tahun. Sementara penghasil utama atau sumber utamanya adalah sektor industri manufaktur, yaitu 2.637 ton per tahun atau 61,9 persen.
Menurut Sigit, penyebab utama tingginya emisi SO2 di industri manufaktur disebabkan oleh penggunaan batu bara. Meski penggunaan batu bara industri manufaktur hanya 4 persen, namun pembakaran batu bara bekontribusi 64 persen terhadap total emisi sulfur dioksida.
Masalahnya, data yang sama juga menyebutkan bahwa penggunaan batu bara sebagai bahan bakar di DKI Jakarta sangat kecil, yakni hanya 0,42 persen. Artinya, emisi SO2 Jakarta akibat pembakaran batu bara juga bersumber dari luar Jakarta.
"Ini kami sedang membuat kesepakatan, karena kita menyadari bahwa pencemaran Jakarta itu harus dikaitkan dengan daerah interline-nya. Jakarta, Bogor, Bekasi, Depok, Tangerang, dan Tangerang Selatan," ujarnya.
Selain pembakaran batu bara oleh sektor manufaktur, inventarisasi emisi juga menunjukkan bahwa sektor industri energi (pembangkit listrik) adalah sumber terbesar kedua emisi sulfur dioksida, yaitu 1.071 ton per tahun atau 25,17 persen.
Berdasarkan hasil inventarisasi emisi, SO2 sektor energi industri berasal dari konsumsi bahan bakar minyak dengan rasio emisi sulfur dioksida bahan bakar minyak dan gas sebesar 27,95 persen.
"Kemarin 5 Juli kita sudah membuat kesepakatan dan dari kajian ini kita melihat bahwa di daerah interline perlu dilakukan inventarisasi emisi lebih detail lagi, untuk mencari apakah sebetulnya karakteristik sumber pencemaran daerah sekitarnya apakah sama dengan Jakarta atau berbeda," jelas Sigit.
Karakteristik polusi Jakarta
Meski demikian, Sigit juga menyampaikan bahwa karakteristik pencemaran udara di perkotaan seperti Jakarta cukup unik. Sebab, pencemaran yang terjadi di dalam kota akan sulit terurai karena adanya gendung-gedung tinggi yang menyebabkan fenomena street canyon.
"Kalau diibaratkan dia (polusi) adalah angin, maka karena ada gedung akan terjadi penangkalan, dan angin itu tidak bisa lurus (terbawa angin lebih jauh). Ada angin (polusi) yang berputar di situ," katanya.
Itu sebabnya, menurut Sigit, konsentrasi polusi di Jakarta bisa terjadi baik yang berasal dari dalam kota maupun luar kota.
"Kalau itu terjadi di antara gedung istilahnya adalah street canyon di mana yang menjadi lembah adalah jalannya kemudian yang jadi penghalang lebah-lembahnya itu adalah gedung-gedung tinggi. Apa yang terjadi adalah angin tidak bergerak kemana-mana berputar kemana-mana, sehingga ini yang disebut dengan pencemaran dari lembah yang meningkat sekian kali dari base-nya.," ujarnya.