NEWS

Di Balik Aliansi Indonesia, Brasil dan Kongo Bikin OPEC Hutan

Indonesia, Brazil dan Kongo cari untung dari jaga hutan.

Di Balik Aliansi Indonesia, Brasil dan Kongo Bikin OPEC HutanIlustrasi hutan tropis. (Pixabay/Atlantios)
03 March 2023

Jakarta, FORTUNE - Indonesia disebut tengah sibuk membicarakan upaya untuk mendorong pembentukan organisasi negara-negara pemilik hutan hujan tropis terluas dunia. Hal ini disampaikan Menteri BUMN, Erick Thohir, saat menjadi pembicara kunci dalam Economic Outlook 2023 yang digelar CNCB Indonesia, Selasa (28/2).

Menurut Ercik, dorongan pembentukan organisasi tersebut muncul dari Indonesia. Harapannya, organisasi dimaksud dapat menyerupai aliansi strategis negara-negara eksportir minyak OPEC. Namun, organisasi ini nantinya bakal getol menegosiasikan masalah-masalah mengenai produksi, harga, serta hak yang adil atas kredit karbon negara-negara anggotanya.

Pun demikian, wacana pembentukan organisasi negara dengan hutan tropis terluas bukan kali ini saja mencuat. Ajakan untuk pembentukannya disampaikan ajudan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva pada Agustus 2022.

Saat itu, ia merupakan mantan presiden (2003-2007) dan partainya masih berjibaku memenangkan masa jabatan baru. Dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB, atau COP27, di Sharm El Sheikh, Mesir, Lula mengajukan ide tersebut kepada Presiden Joko Widodo dan Pesiden Kongo, Felix Antoine Tshisekedi.

Ide Lula itu bertujuan mendorong resolusi yang membantu negara-negara berkembang melestarikan hutannya dan menekan negara-negara kaya untuk berkontribusi dalam bentuk biaya.

"Menggabungkan suara mereka bersama-sama akan memberikan bobot lebih di depan negara-negara Barat yang bersedia menyediakan sumber daya untuk melindungi hutan mereka," demikian pernyataan seorang ajudan Lula seperti dilansir Reuters.

Pada 2012, Indonesia, Brasil dan Kongo sebenarnya telah memulai pembicaraan awal untuk mengantongi lebih banyak pengaruh dalam pembicaraan internasional untuk memperjuangkan hal tersebut.

Tetapi, inisiatif tersebut tidak cukup mendapat daya tarik karena perbedaan politik di Indonesia. Salah satu hambatannya adalah deforestasi atau penggundulan hutan yang terselenggara atas nama pembangunan. Di Brasil dan Indonesia, kebijakan agroindustri seperti peternakan sapi dan perkebunan kelapa sawit berjalan agresif. Sementara di Kongo, yang dominan adalah kemiskinan dengan praktik pertanian tebas bakar yang luas, serta kebutuhan energi.

Aloizio Mercadante, penanggung jawab program kampanye Lula dalam Pemilu saat itu, mengatakan bahwa tim kebijakan mereka memfokuskan pembentukan aliansi pada potensi pendanaan konservasi dan pembangunan berkelanjutan di kawasan hutan hujan lewat mekanisme pasar karbon.

Tropical Forest and Climate Action

Usai COP di Mesir, inisiatif tersebut berlanjut dengan komitmen ketiga negara yang mencuat dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan mengatakan ketiga negara tersebut telah menandatangani pakta bertajuk Joint Statement on Tropical Forest and Climate Action untuk melindungi hutan tropis global pada 14 November 2022.

“Dengan bekerja sama, diharapkan Indonesia, Kongo, dan Brasil dapat mengendalikan harga carbon credit sehingga bermanfaat bagi pengelolaan hutan tropis yang berkelanjutan,” katanya dalam keterangan resmi. 

Penandatangan tersebut juga menandai awal aliansi strategis— dijuluki OPEC of Rainforests —yang bertujuan untuk melobi negara-negara kaya untuk menggelontorkan pendanaan demi melindungi hutan hujan agar terjadi lebih sedikit pelepasan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan krisis iklim. 

Global Forest Watch mencatat Indonesia, Brasil dan Kongo kehilangan sekitar 2,3 juta hektare (total 5,7 juta hektare) hutan hujan primer pada 2021. Kondisi tersebut berkontribusi terhadap lebih dari 40 persen deforestasi global tahun tersebut.

Pada pertengahan Januari lalu, Menko Luhut bertemu dengan Presiden DRC dan Menteri Lingkungan Hidup Brasil dalam rangkaian pertemuan World Annual Meeting Annual Meeting di Davos.

Ketiganya sepakat untuk menindaklannjuti kesepakatan yang mereka tanda tangani di KTT G20 di Bali dengan membentuk Forest Climate Initiative. Kongo juga akan mengajak negara-negara Afrika lainnya untuk mendukung inisiatif ini, begitu pula dengan Brasil yang akan mengajak negara-negara Amerika Latin.

Potensi kredit karbon hutan Indonesia

Indonesia telah menjadikan perdagangan karbon sebagai salah satu instrumen untuk meningkatkan upaya mitigasi perubahan iklim. Terlebih, potensi kredit karbon yang bisa dihasilkan cukup besar. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, totalnya bisa mencapai 113,18 gigaton CO2e.

Ini berasal dari 125,9 juta hektare hutan hujan tropis yang dapat menyerap 25,18 miliar ton CO2e, 7,5 juta hektare lahan gambut dengan estimasi serapan 55 miliar ton CO2e, serta 3,31 juta hektare lahan mangrove yang bisa menyerap 33 miliar ton CO2e.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam side event G20 bertajuk “Sustainable Finance for Climate Transition Roundtable,” pada 22 Juli tahun lalu, mengatakan potensi ekspor kredit karbon Indonesia dari upaya pengurangan emisi pada sektor kehutanan mencapai Rp2,6 triliun (US$172,6 juta) per tahun.

Pasalnya, sektor kehutanan Indonesia dapat melampaui target pengurangan emisi yang ditetapkan oleh pemerintah dalam nationally determined contribution (NDC).

“(Kelebihan) kredit karbon (yang dicapai) di luar (target) NDC diperkirakan cukup besar, sehingga bisa diperdagangkan di pasar global,” ujarnya.

Related Topics

    © 2024 Fortune Media IP Limited. All rights reserved. Reproduction in whole or part without written permission is prohibited.