Dokumen CIPP JETP Tak Masukkan PLTU Captive ke Target Penurunan Emisi
Daya terpasang PLTU captive belum terdokumentasi lengkap.
Jakarta, FORTUNE - Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) tidak memasukkan PLTU Captive ke dalam target penurunan emisi. Hal ini terungkap dalam rancangan dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) 2023 yang disusun sekretariat JETP.
PLTU Captive adalah pembangkit listrik batu bara yang dimiliki dan dioperasikan langsung oleh perusahaan, tetapi tidak tersambung dengan jaringan listrik milik PLN. Biasanya, PLTU ini dibangun untuk menyuplai kebutuhan listrik industri yang tidak bisa mendapat suplai listrik dari PLN.
Penyebab tidak masuknya PLTU Captive ke dalam target CIPP, antara lain, lantaran lanskap kapasitas terpasang PLTU captive belum terdokumentasi secara komprehensif ketika pendanaan JETP diluncurkan pada November tahun lalu.
Padahal, daya PLTU tersebut cukup besar. Terlebih, setelah permintaan nikel meningkat dalam beberapa tahun terakhir—sebagian karena booming EV dan baterai—dan membuat jumlah smelter naik pesat.
"Peningkatan tiba-tiba ini telah mengubah secara radikal lanskap daya yang dimiliki. Karena perusahaan swasta memiliki dan mengoperasikan pembangkit listrik ini. Sekretariat belum sepenuhnya dapat melihat proses perencanaan mereka—hanya apa yang termasuk dalam dokumen pemerintah," demikian Sekretariat JETP dalam dokumen tersebut.
Menurut Sekretariat JETP, memahami dari mana emisi berasal adalah langkah pertama yang penting untuk mencari tahu cara menguranginya. Meskipun kondisi terkini dan rencana daya PLTU captive belum sepenuhnya didokumentasikan, Sekretariat JETP tetap berupaya meningkatkan transparansi penuh mengenai sejauh mana emisinya.
Masalah kompleks
Sekretariat juga menilai masalah daya PLTU Captive tersebut sangat kompleks. Sebab, banyak pengguna daya industri— seperti perusahaan pertambangan dan pengolahan nikel—yang membutuhkan daya yang sangat andal secara terus-menerus dengan volume tinggi.
Selain itu, operasi industri ini sering kali terletak di daerah terpencil dan/atau sensitif ekologis yang tidak berada dalam sistem terhubung PLN.
"Menyediakan opsi terbarukan yang layak untuk daya industri akan menjadi tantangan, mengingat kebutuhan akan daya hampir 24 jam sehari dengan volume tinggi di lahan terbatas, dan sejumlah lokasi kemungkinan memerlukan solusi tersendiri" lanjut dokumen tersebut.
Kompleksnya masalah tersebut membuat Sekretariat JETP memerlukan waktu tambahan untuk studi dan pemodelan guna mengembangkan jalur karbon yang layak secara teknologi untuk smelter pada industri terpencil tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Oleh karena itu, disepakati bahwa versi 2023 dari CIPP hanya akan memiliki target emisi dan jalur untuk sistem terhubung. CIPP mencakup jalur teknis untuk sistem terhubung dengan target daya on-grid sebesar 250 MT pada tahun 2030," demikian Sekretariat.
Di sisi lain, diperlukan waktu lebih lama untuk memahami sejauh mana kapasitas PLTU Captive dan rencana daya yang dimiliki perusahaan, mengembangkan strategi untuk mengelola permintaan energi industri (termasuk efisiensi energi) lebih baik, menetapkan alternatif yang layak untuk memenuhi permintaan ini tanpa batubara, serta menentukan target emisi off-grid yang ambisius.
"Setelah peluncuran awal CIPP, Sekretariat JETP akan memulai studi eksploratif yang luas seputar sistem off-grid untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang strategi dekarbonisasi yang dimiliki, dengan tujuan untuk menyelesaikan studi tersebut dalam enam bulan setelah memulai pekerjaan ini," jelas Sekretariat.