Energi Baru dalam RUU EBET Berpotensi Bebani APBN
IESR wanti-wanti biaya jumbo untuk urus limbah nuklir.
Jakarta, FORTUNE - Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengigatkan besarnya beban anggaran yang ditanggung pemerintah jika mengakomodasi pengembangan energi baru dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET).
Pasalnya, salah satu pasal dalam draf aturan tersebut mengharuskan pemerintah mengusahakan dana energi baru dan energi terbarukan. Sementara, pengembangan energi baru seperti nuklir dan gasifikasi batu bara amat mahal.
Ia mencotohkan biaya investasi untuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) generasi ke III+ dengan kapsistas 1–1,3 Gigawatt (GW) bisa tembus US$8 miliar-12 miliar. Dengan modal awal sebesar itu, biaya pokok penyediaan (BPP) listrik diperkirakan akan tinggi untuk menjamin kelayakan investasi (IRR/internal rate of return).
Jika pada saat bersamaan pemerintah tidak menaikkan tarif listrik, perlu ada subsidi untuk menambal selisih antara harga jual listrik dari PLTN dengan kemampuan bayar PLN.
"Kita bisa bayangka. Itu enggak feasible proyeknya kalau harga listrik sangat mahal. Bisa turun [harga listrik] kalau ada subsidi macam-macam. Bisa dalam bentuk insentif atau penyertaan finansial atau modal," ujarnya dalam diskusi bertajuk Belat Belit RUU EBET, Senin (27/2).
Ia juga mengingatkan pemerintah ihwal mahalnya biaya untuk mengelola limbah nuklir bahkan setelah PLTN selesai beroperasi. Ia mengambil contoh anggaran jumbo yang dikeluarkan pemerintah Inggris untuk mengurus limbah nuklir yang berdampak pada peningkatan pajak.
"Tiap tahun pemerintah Inggris mengalokasikan 3 miliar-4 miliar poundsterling setahun. Itu kalau kita-hitung berarti Rp50 triliun-60 triliun tiap tahun. Ini barang yang sudah enggak dipakai masih harus disubsidi untuk pengolahan limbahnya enggak bocor," katanya.
Bertaruh pada energi baru
Dalam kesempatan sama, Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, menyayangkan bahwa pemerintah justru lebih spesifik mengatur insentif untuk energi baru dibandingkan energi terbarukan dalam RUU EBET. Ia menyebut Pasal 14, misalnya, yang menuntut kontribusi pemerintah dalam pengelolaan limbah radioaktif PLTN.
Dengan demikian, meski pembangunan dan pengoperasian PLTN mengandalkan investasi swasta, pemerintah tetap harus berkontribusi dalam skema pembangunan PLTN di atas.
"Ada namanya pemerintah menyediakan hibah lestari radioaktif. Ini bentuk insentif juga, karena risiko pengelolaan limbah nuklir ditanggung pemerintah. Padahal, sejauh ini, di mana pun di dunia, kita enggak tahu berapa biayanya. Jadi, pemerintah menyiapkan insentif khusus energi baru limbah, yang enggak tahu harganya berapa," ujarnya.
Insentif untuk energi terbarukan yang telah memiliki contoh sukses di negara maju justru kurang banyak diakomodasi dalam rancangan beleid EBET.
"Memang ini sedikit berbahaya. Kalau misalnya kita teruskan energi baru dan terbarukan di satu tempat, itu malah ya itu, condongnya di energi baru yang biayanya aja belum bisa kita perkirakan," katanya.