INA Bidik Investasi Digital di Perusahaan Swasta
Investasi jangka pendek INA berpotensi meleset dari target.
Jakarta, FORTUNE - Lembaga Pengelola Investasi atau Indonesia Investment Authority (LPI/INA) membidik investasi di sejumlah perusahaan swasta bidang digital di tahun ini. Direktur Investasi LPI Stefanus Ade Hadiwidjaja mengatakan setidaknya ada 20 proyek yang sedang dikaji untuk diberikan suntikan modal.
"Selain perusahaan-perusahaan BUMN, kami akan berinvestasi juga ke perusahaan-perusahaan swasta, termasuk di sektor digital. Dan kami akan lebih banyak melakukan penempatan dana tahun ini,” kata Stefanus kepada Fortune Indonesia Februari lalu
INA sejatinya memang berencana membidik investasi di sejumlah sektor. Yang pertama infrastruktur, termasuk jalan tol, pelabuhan dan bandara. Kemudian ada rantai pasok yang mencakup kargo, pendingin, serta logistik untuk pertanian dan perikanan. Yang ketiga adalah infrastruktur digital, termasuk menara telekomunikasi, pusat data dan serat optik.
Selain itu, di sektor investasi hijau, INA juga akan fokus pada energi terbarukan dan penanganan limbah. Selanjutnya, di sektor Kesehatan, INA akan berinvestasi untuk pembangunan rumah sakit dan klinik, laboratorium dan perusahaan farmasi.
Keenam, di sektor keuangan, investasi akan diarahkan pada perbankan, pinjaman digital, dan analisis kredit. Terakhir, INA juga dapat berinvestasi di sektor konsumer, serta pariwisata.
Pada lini pembangunan infrastruktur misalnya, PT Waskita Karya Tbk siap melakukan divestasi atas 13 ruas jalan tol. Di antaranya, ada empat ruas jalan tol yang tengah ditawar oleh konsorsium INA, CDPQ (Caisse de dépôt et placement du Québec), APG Asset Management dan ADIA (Abu Dhabi Investment Authority) senilai US$3,5 miliar atau setara Rp53 triliun.
Selain itu, INA akan membentuk digital fund untuk berinvestasi ke perusahaan teknologi. Menurut Stefanus, INA akan mengincar pendanaan Seri C atau D bagi perusahaan rintisan yang sudah tumbuh cukup matang dengan valuasi antara US$500-700 juta.
Artinya, startup incaran INA berada di kelas yang berbeda dengan modal ventura lokal—yang umumnya lebih banyak berinvestasi dalam putaran pendanaan awal. Begitu juga dengan Merah Putih Fund hasil inisiasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara yang akan membesarkan calon unicorn.
Kemudian, INA juga akan berinvestasi dalam proyek-proyek yang terkait dengan kesehatan, segala fasilitas pendukung transisi energi, pengelolaan limbah, produksi dan distribusi pangan, pariwisata, hingga layanan keuangan.
Pembedanya, rentang waktu investasi pada sektor infrastruktur, terutama pada proyek strategis pemerintah umumnya akan lebih panjang, bahkan mencapai puluhan tahun.
Kemungkinan meleset dari target
Sebagai informasi, Sesuai amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 tahun 2020, LPI akan mengelola modal awal dari pemerintah sebesar Rp75 triliun. Dananya bersumber dari pengalihan saham seri B milik pemerintah pada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) sebesar Rp45 triliun; penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp30 triliun yang diberikan bertahap pada 2020 dan 2021.
Dengan modal besar tersebut, pemerintah menargetkan LPI untuk bisa menarik dana investasi hingga Rp300 triliun atau sekitar US$20 miliar dalam jangka pendek atau hingga 2024. Sementara jangka panjang, target investasi yang dicapai adalah sebesar US$200 miliar.
Meski demikian, CEO LPI Ridha Wirakusumah mengatakan dalam wawancara bersama Bloomberg, Rabu (4/5) bahwa target target tersebut kemungkinan meleset.
“Waktunya mungkin akan sedikit melenceng,” kata dalam wawancara dengan Haslinda Amin dari Bloomberg Television, Rabu. “Itu juga tergantung apakah kita akan mendapatkan lebih banyak suntikan. Tetapi dasar-dasarnya sudah diatur dan sistemnya siap untuk digunakan.”