Inflasi Pangan Meningkat, BKF Waspadai Kemarau dan Kelangkaan Pupuk
Inflasi pangan alami tren peningkatan.
Jakarta, FORTUNE - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mewaspadai ancaman inflasi akibat kenaikan harga bahan pangan. Pasalnya, inflasi harga pangan bergejolak (volatile food) pada bulan lalu kembali meningkat mencapai 6,05 persen (yoy).
Padahal, pada April 2022, inflasi pangan bergejolak sudah cukup tinggi yakni sebesar 5,48 persen.
"Ke depan, perlu diwaspadai faktor musim kemarau basah yang mendorong penurunan produktivitas aneka cabai dan kenaikan harga pupuk yang dapat mendorong naiknya harga bahan pangan umum seiring pembatasan ekspor pangan dan pupuk di 10 negara," ujar Kepala BKF Febrio Nathan Kacaribu dalam keterangannya, Jumat (3/6).
Sebagai catatan, berdasarkan data BPS, laju inflasi Mei 2022 melanjutkan tren peningkatan yakni mencapai 3,55 (yoy). Inflasi ini merupakan yang tertinggi sejak Desember 2017, dipengaruhi oleh tekanan harga komoditas global dan dampak dari kenaikan permintaan saat Lebaran.
Komoditas pangan memberikan kontribusi terbesar, di mana salah satunya disumbang oleh bawang merah. Menurut Kepala BPS Margo Yuwono, kenaikan harga komoditas ini disebabkan minimnya pasokan di sejumlah wilayah sentra produksi.
Selain bawang merah, telur dan daging ayam ras pun meningkat karena adanya kenaikan harga pakan.
Sementara itu, inflasi harga diatur pemerintah (administered price) bergerak stabil di angka 4,83 persen (yoy) pada Mei lalu. Inflasi tertinggi disumbang oleh tarif angkutan udara seiring momentum arus balik Lebaran dan hari libur.
Selain karena peningkatan permintaan, kenaikan tarif juga dipengaruhi oleh penyesuaian akibat kenaikan biaya produksi. Sementara itu, inflasi energi hanya naik tipis.
Penambahan subsidi
Untuk menjaga proses pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat, terutama akses terhadap kebutuhan pangan dan energi, Febrio menyebut pemerintah bersama dengan DPR RI telah menyetujui tambahan alokasi subsidi dan kompensasi dalam APBN 2022.
Hal tersebut menunjukkan peran APBN sebagai shock absorber yang semakin kuat untuk meminimalisir dampak kenaikan harga komoditas energi dan pangan global.
Dengan tambahan alokasi tersebut, disertai berbagai kebijakan stabilisasi harga lainnya, tingkat inflasi domestik diharapkan terus terjaga sehingga mampu menjaga daya beli masyarakat.
"Hal ini sangat penting untuk memastikan tren pemulihan ekonomi Indonesia yang masih berada dalam tahap awal terus berlanjut. Untuk menjaga daya beli kelompok masyarakat miskin dan rentan, Pemerintah juga terus menggelontorkan anggaran perlindungan sosial," pungkas Febrio.