Jurus BI "Jinakkan" Rupiah di Tengah Kekhawatiran Gagal Bayar Utang AS
BI yakin AS tidak akan gagal bayar utang.
Jakarta, FORTUNE - Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengatakan alotnya penyelesaian masalah plafon utang (debt ceiling) di Amerika Serikat turut menjadi penyebab tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global. Sebab, hal tersebut berpotensi membuat pemerintah AS gagal membayar utangnya pada Juni mendatang.
Hingga saat ini BI masih berfokus pada kebijakan penguatan stabilitas rupiah dan mitigasi dampak rambatan yang mungkin muncul. Strategi menjinakkan rupiah ini juga merupakan bagian dari upaya pengendalian inflasi, terutama terhadap barang dan jasa yang berasal dari luar negeri (imported inflation).
"Caranya bagaimana? Ada dua caranya, yaitu triple intervention di pasar spot , DNDF (domestic non-deliverable forward ) dan operasi di SBN sekunder, dan yang kedua adalah twist operation," jelasnya dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 24–25 Mei 2023, Kamis (25/4).
Twist operation yang dimaksud dilakukan melalui penjualan SBN di pasar sekunder untuk tenor pendek guna meningkatkan daya tarik imbal hasil SBN dan mendorong masuknya investor portofolio asing. "BI kan punya SBN 1.400 triliun, kan ada yang jangka pendek, yang jangka pendek kami jual. Dengan menjual jangka pendek, yield SBN kan naik nih, tanpa harus menyebabkan yield jangka panjang naik, inflow kan akan masuk dan itu mendukung stabilisasi nilai tukar rupiah," ujarnya.
BI yakin gagal bayar utang tidak terjadi
Menurut Perry, ketidakpastian pasar keuangan global yang disebabkan alotnya perundingan debt ceiling dan potensi gagal bayar utang pemerintah AS tidak hanya berdampak ke Indonesia. Sebab, kondisi tersebut direspons investor dengan beralih ke greenback dan membuat nilai tukar dolar menguat terhadap seluruh mata uang dunia. Dus, imbal hasil (yield) treasury AS kemungkinan juga mengalami peningkatan.
Meski demikian, perundingan alot soal batas utang tersebut menurutnya hal yang wajar dalam demokrasi di Amerika Serikat. Ia juga yakin akan ada titik temu antara pemerintah dan parlemen, sehingga gagal bayar tidak akan terjadi.
Hanya saja, kesepakatan itu akan menentukan seberapa besar plafon utang AS yang dapat dinaikkan dan apa saja belanja pemerintah yang harus dikurangi. Hasil kesepakatan soal plafon utang itu yang terus dipantau BI, sebab akan turut menentukan arah kebijakan suku bunga Fed ke depan.
Jika debt ceiling pemerintah AS nantinya akan tetap tinggi dan jumlah utang yang bisa ditarik juga cukup besar, maka yield US Treasury akan tetap tinggi. "Kemungkinan juga akan mempengaruhi respons dari The Fed, karena kalau ceiling tinggi, expenditure tinggi, growth akan tetap tinggi, inflasi juga tinggi," katanya.
Sebaliknya, apabila pemerintah AS sepakat untuk memotong belanja anggaran, jumlah utang yang akan ditarik pemerintah AS bakal lebih rendah sehingga imbal hasil US Treasury tidak akan terlalu tinggi.
"Kemudian Fed Fund Rate bisa saja tidak hanya bertahan dalam jangka panjang, tetapi kemungkinan turun. Itu tentu saja dalam proses ini terjadi perbedaan pendapat dari pasar yang menentukan reaksi pasar yang berbeda-beda," ujarnya.