Kemenkeu Akan Tarik Utang Rp696,4 Triliun pada 2023, Ini Strateginya
DJPPR siapkan mitigasi risiko penarikan utang.
Jakarta, FORTUNE - Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat kebutuhan pembiayaan utang pada tahun ini mencapai Rp696,4 triliun.
Dirjen Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko, Suminto, mengatakan sumber pembiayaan utang tersebut terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) domestik dengan komposisi 90-95 persen serta pinjaman dalam dan luar negeri dengan komposisi 5-10 persen.
"Untuk SBN sendiri, antara 69-75 persen akan kami penuhi melalui SBN domestik nonritel, 10-15 persen melalui SBN domestik ritel, dan 13-16 persen melalui SBN valas," ujarnya dalam rapat di Komisi XI, Selasa (7/2).
Sementara itu, untuk pengadaan pinjaman sumbernya akan berasal dari pinjaman program dengan komposisi 4-6 persen. Ada pula pinjaman proyek dari luar negeri Rp32,6 triliun dan pinjaman proyek dalam negeri Rp3,5 triliun.
Suminto menyampaikan strategi dan mitigasi risiko penerbitan SBN pada tahun ini mencakup optimalisasi SBN domestik dan dominasi surat utang tenor menengah-panjang, serta diversifikasi instrumen utang untuk perluasan basis investor domestik.
Kemudian, untuk penerbitan SBN melalui lelang, DJPPR akan terus melaksanakan lelang secara transparan tiap Selasa secara bergantian—antara SUN dan Surat Berharga Negara Syariah (SBSN). "Kemudian untuk nonlelang, kami akan terus mengoptimalkan penerbitan SBN ritel baik konvensional maupun syariah," katanya.
Untuk SBN valas, DJPPR terus memitigasi risiko dengan melakukan diversifikasi dari sisi mata uang (currency), termasuk dari sisi tematik.
Mitigasi risiko pinjaman
Selanjutnya, dalam hal strategi dan mitigasi pengadaan pinjaman, DJPPR akan melaksanakan pinjaman tunai dalam rangka fleksibilitas antar instrumen utang.
"Terutama fleksibilitas terhadap SBN sebagai buffer terhadap risiko market. Kemudian, dari sisi pinjaman proyek atau pinjaman kegiatan, akan terus diprioritaskan untuk proyek prioritas dan alih-teknologi," ujarnya.
Sementara untuk pinjaman dalam negeri yang cukup kecil jumlahnya, akan diarahkan terutama untuk belanja alutsista dan alat material khusus (almatsus) yang diproduksi industri strategis dalam negeri.
Adapun pengelolaan risiko pembiayaan, akan terus dipantau dengan melakukan surveilans dan asesmen, serta menyampaikan lapor pada stakeholder terkait.
"Baik melalui nota keuangan APBN, analisis risiko SALM (Sovereign Asset and Liability Management), forum ALCO Kementerian Keuangan, dan laporan risiko lainnya yang bersifat tematik," katanya.