Kemenkeu Pastikan Belum Ada Pembahasan Kenaikan Harga BBM
Meski rupiah tertekan, rata-rata ICP masih sesuai target.
Fortune Recap
- Pemerintah belum membahas kenaikan harga BBM di tengah tekanan pelemahan nilai tukar rupiah.
- APBN bersifat fleksibel menyesuaikan dengan kebutuhan subsidi dan konsumsi BBM bersubsidi.
- Pelemahan rupiah berdampak pada jumlah anggaran subsidi dan kompensasi yang dibayarkan pemerintah kepada Pertamina dan PLN
Jakarta, FORTUNE - Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, Isa Rachmatawarta, mengatakan pemerintah belum membahas opsi kenaikan harga BBM di tengah tekanan pelemahan nilai tukar rupiah.
Pasalnya, meski kurs rupiah telah melesat jauh dari asumsi makro APBN 2024, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) masih pada kisaran target.
"APBN sudah disepakati oleh DPR dan pemerintah bersifat fleksibel menyesuaikan dengan kebutuhan untuk subsidinya ini. Sampai saat ini tidak ada pembahasan mengenai kemungkinan kenaikan harga BBM dengan Kementerian ESDM," ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTA, Kamis (27/6).
Isa memastikan pemerintah memantau pergerakan nilai tukar rupiah lantaran adanya tekanan cukup signifikan. Selain itu, pemerintah juga mencermati konsumsi BBM bersubsidi dari sisi volumenya, mengingat kenaikan konsumsi dapat menambah anggaran subsidi yang telah dialokasikan pemerintah.
Jika terjadi kuota berlebih atas subsidi, pemerintah dapat mempertimbangkan penambahan anggaran karena desain APBN telah dibuat lebih fleksibel seperti yang telah disebutkan.
"Kita bersyukur konsumsi BBM masih sedikit bisa dikendalikan sehingga lebih rendah dari tahun lalu. Ini mungkin yang juga terus-menerus kita perlu lakukan. Secara keseluruhan kita melihat subsidi masih bisa kita pantau dalam range yang sudah disiapkan dalam APBN kita," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pelemahan rupiah akan berdampak pada jumlah anggaran subsidi dan kompensasi yang dibayarkan pemerintah kepada Pertamina dan PLN.
Karena itu, pemerintah akan mencermati berapa besar volume subsidi listrik, BBM dan LPG yang bisa dipenuhi dengan anggaran yang telah ditetapkan pada 2024.
Selain nilai tukar rupiah, indikator yang saat ini menjadi perhatian adalah volume subsidi dan harga minyak.
"Ketiga faktor itu nanti akan ditagihkan oleh Pertamina dan PLN kepada pemerintah. Setiap kuartal kita kemudian akan meminta BPKP untuk mengaudit, dan kami akan membayar sesuai dengan kemampuan keuangan negara," ujarnya dalam Konferensi Pers Kondisi Fundamental Ekonomi Terkini dan Rencana APBN 202, Senin (25/6).
Menurut sang Bendahara Negara, jika tidak ada perubahan kebijakan terhadap kebijakan penyaluran BBM, LPG dan listrik, maka akan terjadi implikasi terhadap volume Subsidi Energi.Saat ini, realisasi nilai tukar rupiah hingga harga minyak berada di luar target yang ditetapkan pemerintah.
Rupiah sendiri ditetapkan sebesar Rp15.000 per US$ dalam asumsi makro APBN. Sementara hari ini, nilai tukar rupiah ditutup Rp16.375 per US$.
Lalu, ICP ditetapkan US$82 per barel, sedangkan posisinya per Mei 2024 masih bertengger pada level US$79,78 per barel.
Nantinya, pemerintah akan membayarkan subsidi dan kompensasi ke Pertamina dan PLN secara kuartalan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Jika pada kuartal terakhir anggaran subsidi dan kompensasi energi tidak cukup karena dampak kenaikan rupiah dan harga minyak, maka pembayaran tersebut akan dibebankan kepada APBN 2025.
Pasalnya, pembayaran subsidi dan kompensasi yang telah didistribusikan pada kuartal keempat tahun ini baru bisa dilakukan tahun depan, setelah tagihan yang diajukan Pertamina dan PLN diaudit terlebih dahulu oleh BPKP.
"[Mekanismenya] tahun ini dibayar sesuai dengan UU APBN 2024. Saya enggak tahu nilai subsidi BBM berapa ya? Rp300 triliun termasuk LPG dan yang lain-lain. Nanti kita akan lihat alokasi itu memenuhi berapa banyak dari volume yang telah ditetapkan dengan perubahan harga maupun kurs yang terjadi," katanya.