Kemenperin Beberkan Potensi Sampah Jadi Bahan Bakar Industri
Smelter hingga pabrik kertas bisa jadi offtaker besar RDF.
Fortune Recap
- Industri yang intensif energi termal seperti semen, pulp & kertas, besi dan baja, plastik, serta daur ulang timbal memiliki potensi besar untuk memanfaatkan RDF.
- Potensi permintaan RDF pada hilir industri sangat besar, namun keberhasilannya bergantung pada koneksi antara penyedia dan industri sebagai offtaker.
Jakarta, FORTUNE - Kementerian Perindustrian memetakan sejumlah industri yang dapat memanfaatkan biomassa dan bahan bakar alternatif dari sampah melalui teknologi refuse derived fuel (RDF). Penelaah Teknis Kebijakan Kementerian Perindustrian, Fausan Arif Darmadli, mengatakan kajian tersebut dibuat lantaran banyak industri menggunakan energi termal secara signifikan.
Industri yang dimaksud mencakup semen, pulp & kertas, kertas, besi dan baja, plastik, ferro & non-ferro casting, daur ulang timbal (lead recycling), serta paduan aluminium (aluminium alloy). Hingga saat ini, baru industri semen yang memanfaatkan RDF sebagai campuran bahan bakar.
“Beberapa industri ini memang intensif energi, terutama dalam penggunaan energi termal, sehingga potensinya untuk memanfaatkan RDF cukup besar,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “Manfaat RDF/BBJP Dalam Pencapaian Transisi Energi Indonesia,” Jumat (25/10).
Fausan menjelaskan bahwa Kementerian Perindustrian telah menyusun pedoman teknis sebagai spesifikasi bahan bakar RDF untuk industri semen pada 2017. Ini dilakukan untuk memetakan spesifikasi teknis RDF yang sesuai bagi industri semen, dengan harapan spesifikasi tersebut juga dapat diperluas ke industri lain.
“Kami juga ikut terlibat dalam penyusunan SNI, tidak hanya untuk semen. Harapannya, SNI ini bisa menjadi pedoman bagi industri semen dalam memanfaatkan RDF,” katanya.
Berdasarkan kajian KLHK, kata Fausan, potensi permintaan RDF di hilir industri sebenarnya sangat besar. Namun demikian, keberhasilan RDF bergantung pada kemampuan menjalin koneksi yang kuat antara penyedia dan industri sebagai offtaker.
Pada industri semen, misalnya, terdapat 16 perusahaan besar yang menggunakan RDF, yang beroperasi pada kapasitas sekitar 65-75 persen. Berdasarkan inventarisasi kementeriannya, tingkat substitusi termal (thermal substitution rate atau TSR) untuk co-firing RDF saat ini mencapai 7,8 persen dan diharapkan terus meningkat seiring dengan penerapan RDF pada lebih banyak industri semen.
“Permintaan RDF di industri semen berkisar 51.000 ton per tahun. Sementara untuk pupuk, tidak terlalu banyak, terutama untuk amonia dan urea. Saat ini ada 5 anggota utama, dengan konsumsi batu bara di industri pupuk sekitar 1,5 juta ton per tahun. Kajian pemanfaatan RDF dan biomassa juga diperlukan,” ujarnya.
Potensi lain berada pada industri logam, yang memiliki beberapa subsektor, salah satunya industri smelter yang banyak berada di Sulawesi.
“Kebutuhan batu bara di industri ini sekitar 30 persen dari komposisi produknya,” katanya.
Namun demikian, tantangan terbesar penggunaan RDF hingga saat ini adalah modifikasi pembakaran yang cukup kompleks. Permintaan RDF untuk industri secara rata-rata telah mencapai sekitar 20.000 ton per tahun.
Dari sisi suplai, industri juga bisa menjadi penyedia sekaligus offtaker bahan bakunya. Contohnya, industri pulp dan kertas yang limbahnya bisa dimanfaatkan menjadi RDF, meskipun masih membutuhkan banyak kajian.
“Industri tekstil, dengan limbah tekstilnya, dapat mendukung RDF karena nilai kalorinya yang cukup tinggi. Namun, perlu kajian lebih lanjut untuk memastikan limbah ini dapat digunakan untuk RDF. Ada juga industri plastik yang dapat menyediakan bahan baku RDF di Indonesia,” ujarnya.