Kerugian Akibat Kerusuhan Prancis Ditaksir Lebih dari Rp1,6 Triliun
Kerusuhan Prancis timbulkan risiko politik bagi Macron.
Jakarta, FORTUNE - Kericuhan yang terjadi di Prancis ditaksir menimbulkan kerugian lebih dari €100 juta atau Rp1,6 triliun (kurs Rp16.390/€). Jean-Luc Chauvin, kepala Kamar Dagang Aix Marseille Provence, mengatakan kepada France Info, bahwa perkiraan awal dari perusahaan asuransi tersebut dipastikan akan terus meningkat.
Sementara, Menteri Keuangan Prancis, Bruno Le Maire, mengatakan seperti dikutip Bloomberg, sekitar 10 pusat perbelanjaan, lebih dari 200 supermarket, 250 toko tembakau, dan 250 gerai bank telah diserang atau dijarah pada Jumat malam (31/6).
“Semua jenis bisnis telah menjadi sasaran, terutama yang memiliki barang dagangan berharga,” kata Chauvin.
Label fesyen LVMH Celine membatalkan peragaan busana pria yang dijadwalkan pada Minggu di Paris, sementara pihak berwenang membatasi angkutan umum di beberapa kota dan membatalkan acara budaya seperti konser.
Kericuhan di Prancis terjadi setelah remaja laki-laki berusia 17 yang merupakan keturunan Afrika Utara bernama Nahel meninggal akibat ditembak dari jarak dekat di dalam mobil (27/6). Setelah hari naas itu, demonstrasi besar yang berujung kerusuhan dan penjarahan terjadi di sejumlah kota Prancis.
Pembunuhan yang mirip dengan tragedi meninggalnya George Floyd di Amerika Serikat pada 2020 tersebut telah menjadi momentum penting bagi rakyat Prancis untuk melontarkan protes. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir, negeri yang dipimpin Presiden Emmanuel Marcon tersebut telah mengalami protes berulang atas isu-isu seperti reformasi pensiun dan biaya hidup yang lebih tinggi.
Kerusuhan mereda tapi belum berakhir
Macron telah mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Elisabeth Borne dan menteri lainnya untuk membahas situasi dalam negeri pada malam kelima kerusuhan, Minggu (2/7).
Pada hari itu pula, sekitar 719 orang telah ditangkap dalam semalam—turun dari lebih dari 1.300 malam sebelumnya. Pihak berwenang mengerahkan 45.000 polisi, brigade khusus, dan kendaraan bersenjata di jalan-jalan yang telah diserbu oleh pemuda yang membakar dan menyerang petugas, bangunan umum, dan toko.
Sementara Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin menulis di Twitter tentang "malam yang lebih tenang" kemarin, meski bentrokan masih terjadi di kota-kota seperti Marseille—bahwa krisis belum berakhir.
Di sepanjang distrik Champs-Elysees, Paris, tempat para turis berbelanja, ribuan Polisi juga dikerahkan setelah rencana kerusuhan muncul di media sosial. Mereka juga menjaga ketat pusat perbelanjaan yang disebut-sebut bakal menjadi sasaran penjarahan.
Para politisi berkumpul untuk mengutuk aksi kekerasan, khususnya peristiwa penabrakan dan pembakaran mobil di rumah walikota L'Hay-les-Roses, pinggiran kota Paris.
Stephane Hardouin, seorang jaksa penuntut umum, mengatakan pihak berwenang sedang menyelidiki "percobaan pembunuhan" setelah pasangan walikota dan dua anak kecil yang tinggal di rumah tersebut melarikan diri dari rumah melalui pintu belakang.
Meski Polisi yang melepaskan tembakan terhadap Nahel telah didakwa dengan pembunuhan dan berada dalam penahanan pra-sidang, kerusuhan di Prancis telah menimbulkan risiko politik bagi Macron. Bahkan dia membatalkan kunjungan kenegaraan ke Jerman yang seharusnya dimulai pada Minggu.
Macron dan Menteri Kehakiman Eric Dupond-Moretti telah meminta orang tua dan perusahaan media sosial untuk membantu mengakhiri kekerasan.
Kerusuhan Prancis mengingatkan kembali pada 2005 ketika peristiwa sama terjadi berminggu-minggu, menyusul kematian dua anak laki-laki di gardu listrik setelah pengejaran polisi. Insiden tersebut juga telah menyorot praktik kepolisian Prancis serta ketegangan yang telah lama membara di pinggiran kota yang lebih miskin.
Ketika itu pemerintah Prancis mengumumkan keadaan darurat yang berlangsung hampir dua bulan, langkah yang sejauh ini masih dihindari Macron.