Jakarta, FORTUNE - Pemerintah memberi sinyal untuk menunda peluncuran mandatori biodiesel dengan kandungan minyak sawit 35 persen atau B35 yang semula direncanakan dimulai akhir bulan ini.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM dadan Kusdiana menuturkan, pemerintah ingin meningkatkan kandungan bio dalam bahan bakar untuk membantu mengurangi stok besar minyak sawit di Indonesia akibat larangan ekspor selama 3 pekan pada April hingga 23 Mei lalu.
“Program B35 masih perlu pembahasan dengan kementerian terkait, terutama terkait aspek teknis, misalnya spesifikasi biodiesel dan juga kemungkinan dampaknya terhadap mesin,” kata Dadan seperti Reuters, Selasa (19/7).
Sebagai catatan, Indonesia kini menerapkan program mandatori B30 sebagai bagian dari upaya menjaga permintaan sawit di dalam negeri dan menstabilkan harga.
Berdasarkan hitung-hitungan Kementerian ESDM, peralihan ke B35 dari B30 akan menciptakan permintaan tambahan untuk bahan bakar minyak sawit 727.804 kiloliter tahun ini, sehingga konsumsi setahun penuh menjadi 10,88 juta KL.
Payung hukum dibuat fleksibel
Sebelumnya, Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, Edi Wibowo, mengatakan nantinya penerapan campuran minyak sawit 35 persen ke solar tersebut akan dilakukan secara bertahap pada industri tertentu.
"Mudah-mudahan tidak ada masalah dan bisa diterapkan sesuai dengan harapan pemerintah di akhir Juli nanti bisa berjalan. Walaupun bisa kita lakukan bertahap menuju B35. Secara bertahap tidak langsung. Kita harapkan bisa kita terapkan secara nasionalnya," jelasnya dalam CNBC Energy Corner, Senin. (11/7).
Ia melanjutkan, saat ini payung hukum berupa keputusan menteri terkait penggunaan spek kendaraan bahan bakar tersebut juga tengah disiapkan. Beleid berupa keputusan menteri tersebut dikeluarkan lantaran Peraturan Menteri terkait penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar sudah mengakomodasi persentase yang harus digunakan, sehingga tinggal mengatur spesifikasi kendaraannya saja.
"Kesiapan aspek regulasi sebenarnya juga tidak ada perubahan signifikan karena berdasarkan regulasi eksisting peningkatan B30 menjadi B35 dimungkinkan tanpa merubah Permen ESDM. Namun saat ini kami juga tengah menyiapkan Kepmen ESDM yang mengatur pencampuran persentase biodiesel tersebut dengan flexible," ujarnya.
Menurut Edi, fleksibilitas kebijakan dalam penerapan mandatori biodiesel diperlukan sebagai instrumen pengendalian harga tandan buah sawit (TBS). Pasalnya, bahan baku untuk campuran biodiesel tersebut sangat rentan dengan gejolak harga komoditas global.
Dengan regulasi yang fleksibel, pemerintah dapat menyesuaikan penggunaan campuran minyak sawit ke solar sewaktu-waktu. Misalnya, ketika harga sawit tengah murah, mandatori campuran biodiesel dapat ditingkatkan menjadi 40 persen (B40). Sebaliknya, jika suplai berkurang karena permintaan meningkat, penggunaannya dapat diubah menjadi minimal 30 persen (B30).
"Kalau kita lihat suplai demand kita harapkan serapan dari pasar banyak sehingga mengerek harga TBS di tingkat petani. Makanya kami sampaikan fleksibel kalau CPO lagi rendah akan diserap dengan B35-40 tapi nanti kalau pasokan kurang dibuat jadi B-30 lagi jadi kita lihat di B30 minimalnya," jelasnya.