Sri Mulyani: APBN Surplus Rp75,7 Triliun pada Akhir April 2024
Penerimaan negara turun 7,6 persen ketimbang April 2023.
Fortune Recap
- Menteri Keuangan melaporkan surplus APBN hingga April 2024 sebesar Rp75,7 triliun
- Pendapatan negara mencapai Rp924,9 triliun, belanja negara April Rp849,2 triliun
- Penerimaan negara hingga April mencapai 33,0 persen dari target APBN
Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan APBN hingga akhir April 2024 masih mengalami surplus Rp75,7 triliun atau setara 0,33 persen dari estimasi PDB tahun ini. Ini lantaran pendapatan negara mencapai Rp924,9 triliun, sementara belanja negara April Rp849,2 triliun.
Dari target APBN yang sebesar Rp2.802,3 triliun, penerimaan negara hingga akhir bulan lalu mencapai 33,0 persen. Sedangkan belanja negara mencapai 25,5 persen dari pagu anggaran yang sebesar Rp3.325,1 triliun.
"Dengan pendapatan negara dan belanja negara yang tadi saya sampaikan, APBN KiTA mengalami surplus Rp75,7 triliun. Ini artinya 0,33 persen dari estimasi PDB tahun ini. Dari sini keseimbangan primer surplus keseimbangan primer juga masih sangat besar yaitu Rp237,1 triliun," ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTA, Senin (27/5).
Sementara itu, jika dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya year-on-year/yoy, penerimaan negara turun 7,6 persen. Ini disebabkan di tahun sebelunnya Indonesia masih menikmati windfall profit lantaran harga-harga komoditas mengalami lonjakan di pasar global.
Adapun belanja negara mengalami kenaikan 10,9 persen yoy dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya.
Kondisi global
Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani juga melaporkan perkembangan global yang turut berdampak pada kinerja APBN serta perekonomian nasional.
Kabar baiknya, Baltic Dry Index yang menggambarkan volume traffic perdagangan yakni angkutan untuk barang-barang antar negara mengalami kenaikan 112 persen dibandingkan dengan periode Desember 2023.
"Ini berarti ada harapan bahwa kondisi global mungkin lebih baik dibandingkan pada kondisi akhir tahun 2023," ujarnya.
Meski demikian, perkembangan geopolitik global masih cukup memberikan ketidakpastian. Beberapa di antaranya adalah ekskalasi konflik di Gaza yang menimbulkan dinamika di Timur Tengah, terutama berkenaan dengan potensi keterlibatan Iran ke dalam perang.
"Kita semua melihat perang yang ada di Gaza masih meningkat bahkan terjadi eskalasi dengan masuknya pasukan Israel di Rafa, dan Ini menimbulkan dinamika yang luar biasa," katanya.
Kemudian, hubungan antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang berpotensi memanas juga turut memberikan perhatian. Perkembangan terakhir yang dicermati adalah pertemuan Presiden RRT Xi Jinping dengan Menteri Luar Negeri Amerika untuk membahas permasalahan perang Rusia-Ukraina.
"Salah satu yang bisa menjadi berita penting dari global system adalah pertemuan G7 di mana menteri-menteri keuangan dan Bank Sentral G7 dalam hal ini memutuskan untuk tidak hanya membekukan aset Rusia yang ada di Eropa, tapi menggunakan aset tersebut untuk meng-issue utang yang nanti dana utangnya itu dipakai untuk pembangunan kembali Ukraina," ujarnya.