Metaverse Di Antara Keniscayaan Semesta Baru dan Peluang Ekonomi
Metaverse merupakan pengembangan AR, VR, dan AI.
Jakarta, FORTUNE – Jenama metaverse belakangan ini menjadi buzzword atau kata-kata yang populer baik di dalam dunia teknologi maupun ekonomi bisnis. Tentu saja kehadiran ruang virtual tersebut masih perlu diuji kehadirannya kelak.
Namun, bagi sejumlah pihak, metaverse niscaya merupakan semesta baru.
Metaverse dipandang sebagai evolusi dari cara maupun media untuk menikmati konten audio visual. Mundur ke belakang, televisi mungkin menjadi satu-satunya media untuk mengakses konten tersebut. Seiring waktu (dan perkembangan teknologi), hadir sejumlah media terbaru, seperti ponsel pintar, laptop, maupun tablet.
“Konten telah berubah. Jika sebelumnya dua dimensi, sekarang menjadi tiga dimensi. Konten juga interaktif. Kita telah memasuki masa depan tanpa frame, atau frameless future,” kata Executive Chairman & Co-Founder Wir Group, Daniel Surya, kepada Fortune Indonesia, Senin (21/2).
WIR Group adalah satu dari sedikit perusahaan di Indonesia yang telah lama berkecimpung di dunia teknologi, khususnya virtual reality (VR), augmented reality (AR), dan artificial intelligence (AI). WIR Group mengklaim telah menangani lebih dari 1.000 klien di 20 negara. Perusahaan ini baru saja melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) di pasar modal April lalu.
Secara sederhana, metaverse adalah dunia virtual tiga dimensi yang memungkinkan penggunanya saling berinteraksi satu sama lain. Definisi ini tentu akan berkembang lagi beriring teknologi metaverse yang bakal tercipta.
Istilah metaverse semakin populer usai Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, mengumumkan untuk mengganti nama perusahaannya menjadi Meta Oktober tahun lalu.
Meski demikian, nama metaverse sesungguhnya sudah ada sejak 1992—ketika Zuckerberg masih sekolah dasar. Meta sendiri dalam bahasa Yunani berarti after atau beyond. Sedangkan verse merupakan kependekan dari universe—atau alam semesta.
Bentuk metaverse
Tak hanya definisi metaverse yang masih menjadi perdebatan. Bentuk dari metaverse juga akan beragam, tergantung dari pembuatnya.
Menurut Daniel, metaverse adalah pengembangan dari AR, VR dan AI. Perlu dicatat, VR adalah teknologi yang memungkinkan pengguna masuk ke alam digital. Sedangkan, AR adalah teknologi untuk melihat sebuah karakter virtual atau avatar di dunia nyata.
Dalam aras ini, metaverse merupakan sebuah alam virtual dengan masyarakat di dalamnya masing-masing memiliki karakter sendiri. Sebagai misal, seseorang yang menyatakan diri sebagai seorang pria berambut hitam klimis dengan jas berwarna cokelat, serta jins berwarna biru. Ketika bergabung ke ruang itu, seseorang tersebut bisa bertemu, berinteraksi, menjelajahi, bahkan bertransaksi bersama seseorang lain.
WIR Group sendiri telah mengembangkan DAV Smart Kiosk bersama Alfamart untuk gerai mereka di kota tier dua dan tiga. Melalui alat seperti layar vertikal, memungkinkan foto bersama avatar sekaligus memesan barang. Sedangkan melalui Mindstores, Alfamart menghadirkan toko virtual.
“Kami sudah membuat teknologi ini sejak 2016. Kuncinya adalah frameless dan cashless,” kata Daniel. WIR Group akan mengembangkan dan menyempurnakan lebih lanjut penemuan itu menjadi metaverse.
Kepada Fortune Indonesia, On Lee, Chief Executive Officer dan Chief Technology Officer GDP Labs, mengatakan, metaverse adalah sebuah platform yang dibangun di atas fondasi blockchain.
Menurutnya, demi menjadi pemenang dalam dunia metaverse, pemain yang memiliki komponen paling lengkap akan menjadi pemenang. Komponen itu bukan hanya konten, melainkan juga hardware, networking hingga pembayaran.
Dari situ, tak heran jika Meta mengakuisisi Oculus VR Inc. pada 2014 senilai US$2 miliar. Lalu, Microsoft yang mengakuisisi Activision Blizzard, pembuat film World of Warfare dan permainan Candy Crush senilai US$68,7 miliar, sekaligus merger dan akuisisi (M&A) terbesar dalam sejarah gim.
“Metaverse sebagai platform bisa dikembangkan sehingga memiliki fungsi sebagai social networking, entertainment, gaming, meeting, webinar, dan lainnya,” kata On Lee, yang telah menggeluti dunia teknologi lebih dari 37 tahun itu.
Perusahaan merambah metaverse
Sejumlah perusahaan baik di dalam negeri maupun internasional menyatakan niatannya untuk merambah metaverse. Terhangat, Standard Chartered mengakuisisi tanah virtual di Sandbox, platform gim virtual berbasis blockchain.
Tak sedikit bank besar maupun perusahaan jasa keuangan yang telah memasuki metaverse belakangan, seperti JP Morgan, HSBC, dan Fidelity Investments. HSBC, misalnya, memilih bermitra dengan Sandbox untuk melangkah ke metaverse. Sedangkan JP Morgan dan Fidelity menjalin kolaborasi dengan Decentraland, platform gim 3D.
Di dalam negeri, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk telah mengatakan akan mengembangkan bisnis metaverse. Lalu, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk menyatakan bakal membangun ekosistem digital di metaverse. Sedangkan, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk bakal membangun kantor cabang virtual untuk melayani kebutuhan nasabah. Sejumlah bank pelat merah ini akan bekerja sama dengan WIR Group.
Itu belum termasuk sejumlah perusahaan, di antaranya: Sony, Starbucks, Disney, Tencent, Baidu, Huawei, Microsoft, Nike, Samsung, dan masih banyak lainnya.
Pun begitu, potensi nilai ekonomi metaverse juga tak bisa dianggap remeh. Citibank memperkirakan metaverse punya potensi nilai US$13 triliun dengan 5 miliar pengguna pada 2030. Sedangkan, Goldman Sachs dan Morgan Stanley sama-sama percaya bahwa metaverse berpotensi bernilai $8 triliun.
Bisnis periklanan dan pemasaran diprediksi bakal jadi salah satu kue ekonomi terbesar di metaverse, menurut laporan dari JP Morgan. Belanja iklan dalam gim di metaverse ditaksir akan mencapai US$18,41 miliar atau lebih dari Rp263 triliun pada 2027.
Pembahasan mengenai metaverse dapat dibaca secara lengkap pada majalah Fortune Indonesia edisi Maret 2022 dalam tajuk utama "Minting New Life".