Jakarta, FORTUNE - Teknologi digital bagai pedang bermata dua untuk HAM. Mengutip studi The Right to Privacy in the Digital Age (2021), Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Antonio Guterres, mengamini bahwa teknologi bermanfaat dalam melahirkan sarana baru demi membela dan mengadvokasi HAM. Akan tetapi, tidak sedikit juga pihak yang menyalahgunakan teknologi sebagai media untuk menginjak-injak HAM.
Anda tentu familier dengan maraknya penipuan dan pemalsuan data akibat menjamurnya pinjol (pinjaman online) ilegal—yang tergolong sebagai penyalahgunaan informasi pribadi. Belum lagi dengan maraknya ujaran kebencian yang menjurus ke arah pengancaman di media sosial, serta kebocoran data yang terjadi pada platform digital.
Deretan fenomena itu akhirnya meningkatkan perhatian PBB terhadap hak-hak digital. Mulai dari perlindungan data dan privasi, identitas digital, pemanfaatan teknologi pengawasan, hingga kekerasan dan pelecehan di dunia maya.
Pemanfaatan Data dan Kaitannya dengan HAM
Data digital bagaikan kabut, tidak terlihat tetapi ada. Begitu analogi dari Co-Director Centre for Governance and Human Rights (CGHR) Universitas Cambridge, Sharath Srinivasan, dikutip dari laman resmi kampusnya, Selasa (30/11).
“(Lalu) kabut akhirnya menyublim menjadi sesuatu berbentuk pola, bisa dianalisis, dibentuk, dibeli, dan dijual dengan cara yang mungkin tak dapat kita bayangkan,” ujarnya. “Pola-pola itu kemudian digunakan untuk membuat keputusan yang memengaruhi kita.”
Karena itu, Srinivasan menganggap teknologi digital mengendalikan, mengaburkan, dan memecah berbagai proses penilaian dari individu dan masyarakat. Pada akhirnya, itu berdampak besar terhadap HAM.
Padahal, PBB menyebut kebebasan dalam mengambil keputusan merupakan aspek privasi yang sangat penting dalam pemanfaatan AI. Begitu juga dengan pemanfaatan data dan identitas pribadi seseorang. Pada akhirnya, itu melahirkan surveillance capitalism (kapitalisme pengawasan).
Apa itu Surveillance Capitalism?
Istilah surveillance capitalism populer berkat akademisi dari Sekolah Bisnis Harvard, Shoshana Zuboff. Model bisnis itu digunakan oleh raksasa teknologi seperti Google dan Facebook, tempat mereka secara sepihak mengklaim pengalaman manusia sebagai bahan mentah gratis yang bisa diubah menjadi data perilaku konsumen. Kemudian, terjadi komodifikasi data yang akhirnya membantu perusahaan menjual produk, mengubah lanskap pasar, hingga memengaruhi keputusan pembelian pelanggan.
Mengutip situs Cambridge, peneliti PhD dari St John’s, Rebekah Larsen mengatakan empat atau lima perusahaan terbesar dunia terlibat dalam komodifikasi data pribadi.
PBB: Jangan Gunakan Teknologi untuk Menindas HAM
Dalam studi The Right to Privacy in the Digital Age, Sekjen PBB melarang penyalahgunaan teknologi sebagai alat untuk mengikis hak asasi manusia sampai memperburuk ketidaksetaraan dan diskriminasi di ruang digital. Sebaliknya, dia ingin teknologi digital—seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI)—menekankan transparansi, akuntabilitas, dan keadilan.
Di bidang keamanan, Guterres juga menyerukan larangan penggunaan sistem senjata otonom secara global—sebab itu membahayakan.