Energi Terbarukan Bisa Menjadi Faktor Mendorong Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia perlu mengurangi ketergantungan pada energi fosil
Jakarta, FORTUNE - Dalam mewujudkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen, diperlukan kolaborasi yang erat dari berbagai sektor, dan salah satu bentuknya adalah dengan memanfaatkan energi.
Penasihat Presiden Urusan Energi, Purnomo Yusgiantoro, mengatakan pertumbuhan ekonomi sangat lekat dengan pertumbuhan PDB atau Produk Domestik Bruto, yang dipengaruhi oleh empat variabel.
Variabel pertama adalah konsumsi, dengan sektor energi memegang pengaruh 10 hingga 15 persen. Variabel berikutnya adalah investasi, yang tidak hanya mencakup perputaran uang, tetapi juga penyerapan tenaga kerja.
Variabel ketiga berkaitan dengan ekspor-impor energi, terutama bahan bakar minyak (BBM). Purnomo mengakui Indonesia masih mengimpor BBM dengan jumlah terlalu besar. Meski demikian, jika dibandingkan dengan ekspor batu bara, maka bisa dibilang sektor energi masih berkinerja positif dalam hal ekspor-impor.
Mantan menteri ESDM ini menyebutkan impor BBM untuk konsumsi mencapai hampir 1,6 juta barel per hari, sedangkan produksinya hanya sekitar 600.000 barel per hari.
"Di energi kami banyak dikritik bahwa impor BBM-nya besar. Tapi kalau di-offset dengan ekspor batu bara, sektor energi masih positif," ujarnya dalam acara Semangat Awal Tahun (SAT) 2025 by IDN Times di IDN HQ, Jakarta, Kamis (15/1).
Variabel terakhir adalah belanja negara. Purnomo membeberkan bahwa hal ini memang tertera dalam belanja negara, meski anggarannya masih berkisar 1-2 persen. Dengan demikian, Indonesia perlu lebih fokus lagi dalam menggarap sektor energi dan memperkuat kebijakan eksplorasi produksi agar bisa mendukung pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
"Indonesia itu kaya. Bayangin saja. Cadangan batu bara kita bisa 50 tahun. Bahkan kalau dikonversi menjadi resources bisa 150 tahun," katanya.
Perkuat Energi Berkelanjutan
Di samping mengoptimalkan produksi energi fosil dalam negeri, energi berkelanjutan juga bisa dimanfaatkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiyani Dewi, mengatakan energi baru dan terbarukan (EBT) punya potensi besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Ia mencermati penggunaan listrik sangat dibutuhkan dalam industri. Namun, dalam pelaksanaannya, Eniya mengakui masih menjadi tantangan.
"Capaian baruan EBT sudah bertambah 1 persen. Kemudian sebentar lagi PLTA akan diresmikan. Namun memang masih jauh dari (target) 23 persen," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, EVP Aneka Energi Terbarukan, Zainal Arifin, melontarkan optimismenya terhadap penggunaan listrik yang diyakini bakal semakin masif ke depan. Bahkan, ia menyebut permintaan listrik pada 2024 telah meningkat hampir 21 persen.
Namun sayangnya, lanjut Zainal, industri produktif yang intensif memakai listrik seperti semen dan tekstil justru mengalami tren penurunan penggunaan listrik. Ditambah lagi, Indonesia masih bergantung pada impor energi fosil. Tahun lalu saja, Indonesia mengimpor BBM senilai US$40,4 miliar atau sekitar Rp600 triliun, dan impor LPG Rp58 triliun.
"Artinya [Indonesia] ngabisin devisa hampir Rp2 triliun tiap hari untuk energi," katanya.
Oleh sebab itu, Zainal mengatakan pemerintah saat ini tengah berupaya mengurangi ketergantungan terhadap impor energi fosil dan mulai mengoptimalkan energi listrik. Salah satu langkahnya adalah menggencarkan elektrifikasi sektor transportasi.
"Impor BBM yang besar itu salah satunya dikonsumsi oleh transportasi. Jadi, sekarang targetnya 6,02 persen dan diharapkan bisa support [target ekonomi] 8 persen," kata Zainal.
Di sisi lain, untuk mencapai penggunaan energi ramah lingkungan yang lebih berkelanjutan, penggunaan energi fosil tidak bisa serta-merta disetop. Dengan kata lain, masa transisi dari energi fosil ke EBT pasti akan terjadi.
Oleh karenanya, masa transisi ini akan didukung dengan sejumlah kebijakan. Purnomo menjelaskan pemerintah akan memulai dari kebijakan harga, dan secara bertahap mengalihkan subsidi harga menjadi subsidi langsung dengan tetap mempertimbangkan kapasitas fiskal, daya beli rumah tangga berpenghasilan rendah, dan kondisi sosial politik.
Pemerintah juga akan melakukan diversifikasi energi, mengurangi penggunaan energi fosil, dan meningkatkan penggunaan EBT di transportasi, rumah tangga, serta industri.